Namanya Mungky. Ia tinggal di sebuah desa di kota kecil yang terletak di propinsi Jawa Tengah.
Wajahnya cantik. Kulitnya putih bersih. Ia kembang sekolah. Banyak yang menyukainya, dan ingin menikahinya. Begitu lulus SMA, pintu pernikahan menjemputnya. Ia menikah dengan seorang PNS yang bekerja di sebuah kantor pemerintah. Secara ekonomi ia tak mengalami masalah. Kebahagiaan melingkupinya.
Lahir anak pertama. Cantik rupanya. Seperti dirinya, bayi perempuan itu berkulit putih bersih, dan tumbuh menjadi balita cantik yang menarik. Kebahagiaan menyelimutinya.
Sang Ibu muda tetap tabah. Diperlakukannya
Mungky tenggelam dalam kepedihan. Orang-orang yang dicintainya jatuh berguguran. Bersuami “angot-angotan”
Beberapa tahun kemudian, kembali ia hamil. Tak putus dirundung malang. Bayi yang dilahirkan memiliki kelainan pada kepala. Ia terpana. Tapi tak memiliki daya apa-apa. Kepala bayi terus membesar, membesar dan membesar dengan cairan yang lengket di kepalanya. Ia tak bisa mengangkat bayi tersebut lantaran ukuran kepalanya yang sangat melebihi ukurak kepala normal bayi umumnya. Cukup lama Mungky meratapi bayi malangnya. Hingga kemudian, sang bayi pun berpulang.
Sampai di situkah derita Mungky, sang Ibu muda yang selalu dirundung malang? Ternyata tidak.
Suami dan anak pertamanya semakin parah; mereka benar-benar telah kehilangan akal warasnya. Gila. Mandi pun tak mau lagi dilakukan oleh mereka. Makan pun tidak. Masing-masing tenggelam dalam alam kegelapannya. Mungky terus berjuang, merawat suami dan anak sulungnya, anak perempuannya, dengan penuh kasih-sayang. Ia mandikan mereka, ia suapi mereka, walau berontak dan caci-maki selalu keluar dari mulut mereka. Suami dan anaknya berada dalam kamar terpisah. Kamar yang gelap, tanpa penerangan di dalamnya. Setiap melihat cahaya, mereka berteriak dan memberontak.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Anak kedua Mungky, gadis cantik berkulit putih yang telah duduk di bangku SMA, tiba-tiba menjerit-jerit usai pulang sekolah. Ia berteriak mengalami sakit kepala. Sampai akhirnya, nasib kembali menggiringnya, berperangai aneh seperti bapak dan kakak perempuannya. Ia sering terlihat diam membisu dengan tatapan mata yang kosong. Tiba-tiba menangis. Tiba-tiba tertawa, Tanpa sebab.
Mungky berenang dalam lautan derita. Derita berkepanjangan.
Mungki selalu mengadu pada Ibuku, perempuan tua yang senantiasa mau menampung keluh-kesahnya.
Mungky belum merdeka. Kudengar ia meminjam uang puluhan juta rupiah demi pengobatan anak-anak dan suaminya. Tapi belum membuahkan hasil. Mungky yang cantik, Mungky yang selalu berusaha tersenyum di balik derita panjang, mencoba bertahan dalam keterseokan. Rambutnya telah memutih.
Mungky selalu tersenyum. Itu yang kulihat setiap aku berjumpa dengannya. Dengan jilbab yang menutupi kepalanya, ia terlihat masih segar dan cantik. Subhanallah, siapa yang mampu bertahan dalam gelombang derita panjang yang tak berkesudahan? Tapi ia tak mengeluh. Hanya kepada Ibuku ia mengadu. Ibu kandungnya, tak pernah menghiraukannya
Aku berkaca pada wanita muda itu. Penderitaan demi penderitaan selalu menghampirinya.
Sungguh, ia wanita tangguh. Wanita pilihan yang patut dijadikan cermin dalam kesabaran dan ketabahan. Ia tak pernah meminta akan takdir hidup yang ia terima. Tapi Tuhan memberinya. Dan pasti ada hikmah yang tersembunyi di baliknya. Tuhan tak akan menimpakan sesuatu hal, melebihi batas kemampuan yang dimiliki hambaNya. Jika Mungky hidup dengan lautan derita seperti itu, berarti ia memang tangguh dan mampu menanggung beban serta mampu mengatasi persoalan dan memaknai derita itu, sebagai bagian dari ketentuan yang harus diterima dengan khusnuzon dan lapang dada.
Aku menaruh hormat pada wanita tabah itu. Kabar terakhir yang kudengar, ia tengah memperbaiki rumahnya yang rusak parah dengan dana pinjaman dari bank, dan ia mengangsurnya dengan uang pensiun suaminya. Sementara, pengobatan ke dokter syaraf terus ia lakukan atas suami dan anak-anaknya, di tengah ketidakpastian kesembuhan sakit jiwa mereka…..***
(sumber:blog Lautan Cerita)
(Image:google)