Saya yakin semua kita kenal dengan sebuah permainan yang pemenangnya hanya ditentukan nasib oleh enam sisi dadu. Ya permainan ular tangga kawan!!untuk memenangkan permainan ini anda tak perlu punya keahlian apa-apa, tak perlu punya keterampilan apa-apa, kecuali mampu mengocok dadu dan melemparkannya, anda bisa menang, atau juga kalah. Ini benar-benar hanya untung-untungan. Kadang hanya dengan tiga empat kali naik tangga, anda sudah ada di lajur teratas, selangkah menuju finish. Tapi lebih sering kita telah jauh berjalan, telah lama berputar-putar, bahkan sudah malas rasanya tangan ini melemparkan dadu, tapi tetap saja kita di situ, progres kita seperti jalan di tempat, kerja kita hanya naik tangga dan dan kemudian menuruni badan ular dari ekor ke kepalanya, tanpa jelas kapan kita akan finish.
Kawan, tanpa kita sadari kadang hidup kita layaknya seperti permainan ular tangga. Kadang kita merasa sudah berjalan begitu jauh, sudah menghabiskan begitu banyak bekal, sudah menguras sekian banyak energi, tapi kita sebenarnya masih ada di situ atau bahkan kita kembali mundur. Jalan yang kita tempuh serasa belum mengantar kita kemana-mana. Kerja yang sudah kita lakukan belum sedikit jua membawa perubahan.
Tapi yang paling mengenaskan dan perlu dikasihani adalah mereka yang sudah berjalan jauh, yang sudah menghabiskan sekian banyak bekal, yang sudah mengeluarkan sekian besar tenaga, tak pernah sadar kalau mereka sebenarnya belum kemana-mana. Yang mereka tahu mereka hanya berjalan dan berjalan. Layaknya permainan ular tangga tadi, tak sedikitpun sadar kalau sebenarnya mereka lebih sering menuruni badan ular daripada meniti anak tangga.
Kawan, jika anda berjalan di suatu medan terbuka dan anda dipandu oleh peta, maka perhatikan selalu peta anda untuk memastikan anda tetap laju ke tujuan dan tidak “mbulet” di tempat yang sama. dalam kenyataannya, jika anda melenceng satu derajat saja, dan anda telah berjalan sejauh 10 kilometer, maka dipastikan anda sudah tersesat sangat jauh. Apa lagi kalau anda berjalan tanpa peta, tanpa panduan.
Mereka layaknya para pengecut zionis yang merampas tanah palestina. Sejauh ini mereka merasa masih terus berjalan, meneruskan perampokan tanah Palestina, mereka masih merasa terus maju. Tapi sebenarnya mereka tak pernah sadar, bahwa sebenarnya mereka mundur, jauh. Kesakitan mental warganya yang kian hari kian parah namun bersamaan dengan itu mereka sedang membangun mental-mental yang kian garang pada warga palestina dan umat islam.
Atau mereka layaknya para islamofobia di Eropa sana. Yang sampai saat ini mereka masih merasa berjalan maju untuk mematikan islam di Eropa. melarang adzan, melarang muslimah berjilbab, melarang mendirikan masjid, dan makar-makar lainnya. Tapi apa kenyataannya, mereka sebenarnya mundur, jumlah muslim di Eropa berlipat-lipat bertambah tiap tahunnya.
Kawan, mari berhenti sejenak, ambil waktu untuk beristirahat, memeriksa peta kita, mengisi bekal minum kita. Periksa lagi perjalanan, sudah sampai di mana kita. Sudah sejauh apa kita berjalan. Sudah sedekat apa kita dengan tujuan kita. Sudah sebesar apa perubahan yang pernah kita torehkan. Jangan sampai kita termasuk orang-orang “yang merasa telah melakukan banyak hal, tapi sebenarnya belum melakukan apa-apa.” Atau lebih parah lagi orang-orang “membanggakan kerja yang dilakukan oleh orang lain“.
Kawan, jangan terlalu lama beristirahat, mari kita berjalan lagi, mari kita beramal lagi. Jalan kita masih panjang, samudera tugas membangun peradaban masih membentang dan HARAPAN ITU MASIH SANGAT ADA. (Adi Putra/ Dakwatuna.com)
(sumber:http://www.suaramedia.com/artikel/kumpulan-artikel/40230-terlanjur-bangga-jangan-jangan-kita-jalan-di-tempat.html)