Selamat Datang Di Pondok Tnur
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
sperky, prstene
Posted by PONDOK TNUR - - 0 komentar

Peta persaingan bisnis susu formula
Perputaran duit di bisnis susu formula mencapai Rp 6 triliun setahun. Sepertiganya milik kelas premium dan sisanya kelas biasa. Di kelas premium persaingan sangat ketat. Di kelas biasa, Nestle masih menjadi raja.
Sigit Rahardjo, Fifi Yulianti
Kalau sudah ngomong susu, yang terdengar adalah keluhan-keluhan bernada dalam. Apalagi di kalangan ibu-ibu yang mempunyai bayi: betapa kian mahal harga susu, kian tak terbeli. Tapi, berbagai keluhan itu rupanya tenggelam dalam keriuhan bisnis besar yang amat menggiurkan. Tak usah bicara soal kebutuhan susu semua usia. Susu untuk di bawah lima tahun saja, ceruk pasarnya demikian besar. Hitungan kasarnya, berdasarkan sensus tahun 2000 lalu, jumlah balita di Indonesia mencapai 20 juta lebih. Katakanlah, 10%-nya setiap hari harus minum susu. Setiap anak membutuhkan 0,6 liter sampai 1 liter susu setiap hari. Tentu jumlah susu yang dibutuhkan sangat besar.
Jadi, tak heranlah bila para produsen susu menjadi begitu gemuk-gemuk. Pertumbuhan pasar susu setiap tahunnya mencapai 20% sampai 35%. Bertumbuhnya susu ini tentu membuat produsen makin antusias.
Pemain asing seperti Mead Johnson pun menyambar peluang emas ini. Sejak 2001 silam, produsen susu asal Amerika ini membuka kantor operasional langsung di Jakarta. PT Mead Johnson Indonesia itu bukan sekadar kantor keagenan. Demikian juga dengan raksasa susu dunia lainnya seperti Abbott, Wyett, juga Nutricia. Pemain lain, seperti Friesche Flag, Nestle, atau Sari Husada, meski tidak kuat di susu premium atau superpremium, namun mereka lebih besar penjualannya di susu kelas bawah.
Mereka saling berlomba menyusun strategi pemasaran yang paling jitu. Di antaranya dengan membuat susu yang paling lengkap kandungan gizinya. Mulai dari yang mengandung AA, DHA, EPA, atau yang terbaru: EyQ. Semua tambahan kandungan itu jelas mempengaruhi harga pula. Untuk susu formula ukuran 400 gram, rentang harganya mulai dari Rp 20.000-an untuk kelas bawah. Di kelas atas, harganya antara Rp 40.000 hingga Rp 70.000 sekaleng kecil itu. ”Di kelas atas kita membaginya lagi menjadi premium dan superpremium,” papar Cecep Fathoni, Business Unit Manager Nutricia Indonesia Sejahtera.
Lebih banyak bermain di susu pertumbuhan
Dalam perkembangannya, menurut Ruby Hermanto, Marketing Head Pediatric Nutricion Division PT Abbott Indonesia, di bisnis susu ini makin banyak pengelompokannya. Ini dimulai dari starter formula untuk usia 0 sampai 6 bulan, follow on formula untuk usia 6 bulan sampai 12 bulan, lantas growing up milk, untuk usia di atas setahun dan di bawah lima tahun.
Ruby mengakui tak gampang berjualan susu. Untuk susu formula usia nol sampai setahun pemerintah melarang untuk beriklan. Karena itu, produsen pun enggan bermain susu untuk kelompok usia ini. Apalagi, ”Pertumbuhan di kelas starter ini sudah stagnan. Kami cenderung bermain di kelas growing up,” timpal Cecep.
Toh, dalam setahun angka penjualan susu formula ini menunjukkan angka yang luar biasa. Ruby mengutip data yang dikeluarkan AC Nielsen. Setidaknya Rp 6 triliun dihasilkan dari penjualan susu, baik itu untuk kelas bawah, premium, maupun superpremium. ”Sebesar Rp 2 triliun sampai Rp 2,5 triliun itu milik susu formula kelas premium,” tandas Ruby.
Duit sebesar itu dikuasai lima pemain besar. ”Abbott masuk hitungan ini,” ucap Ruby, bangga. Empat pemain lainnya adalah Wyett, Mead Johnson, Nutricia, dan Sang Hyang Perkasa. Namun, Ruby menolak menyebutkan berapa besar produk Abbott yang bisa terserap pasar. ”Kalau itu saya tak bisa menyebutkan,” elaknya.
Nutricia Indonesia bahkan berani menyebutkan, di kelas premium dan superpremium itu, mereka bisa menguasai penjualan hingga 11%. Saingan terdekatnya adalah Wyett dan Mead Johnson. ”Karena mereka ini lebih dulu bermain di kelas premium dan superpremium,” tukas Cecep.
Bisa dikatakan persaingan di susu formula premium dan superpremium ini sangat ketat. Untuk kelas premium, produk Nutricia seperti Bebelac bersaing dengan S 26 Reguler milik Wyeth, Enfamil Reguler milik Mead Johnson, Morinaga BMT milik Sang Hyang Perkasa, dan Vitalac milik Sari Husada, juga dengan Pediasure milik Abbott.
Begitu halnya di kelas superpremium. Nutricia mempunyai unggulan Nutricia Royal, Wyett mempunyai S 26 Gold, Mead Johnson tampil dengan susu premium merek Enfamil Plus. Lantas, Sang Hyang Perkasa dengan produknya Morinaga Platinum, dan Abbott punya merek Pediasure Gains and Advance EyQ. Pemain lain di pasar ini adalah Nestle dengan merek Nan, namun tak begitu besar penetrasinya di pasar.
Pasar susu kelas bawah lebih besar
Adapun sisanya yang sebesar Rp 3,5 triliun dinikmati susu formula kelas bawah. Di kelas susu biasa ini, tak bisa dipungkiri, Nestle masih merajai. Diperkirakan dari kue sebesar itu, Nestle mempunyai angka penjualan mencapai hampir 50%. Sisanya, tentunya dibagi de-ngan pemain lain seperti Sari Husada atau Friesche Flag, produsen susu Bendera.
Namun, seperti halnya Abbott, Nestle pun enggan mengungkapkan berapa angka penjualannya di Indonesia. ”Kami tidak bisa menyebutkan angka volume susu bayi yang didistribusikan,” ujar Brata T. Hardjosubroto, Head of Public Relations PT Nestle Indonesia. Namun, Brata mengakui, kontribusi penjualan susu di Indonesia cukup lumayan untuk menggembungkan kas Nestle.
Susu formula milik Nestle yang tergolong kelas menengah ini adalah Lactogen. Untuk berat 800 gram harganya sekitar Rp 40 .000. Adapun Nan harganya Rp 50.000 untuk 400 gram. Isi kandungannya hampir sama. Bedanya, Nan mengandung asam linoleat dan asam linolenat yang jika dicerna bayi akan menghasilkan AA dan DHA. Akan halnya Lactogen, mengandung AA dan DHA langsung.
Yang terbuka justru PT Sari Husada. Produsen susu anak SGM, Lactamil, dan Vitalac ini dalam setahun bisa memproduksi susu sebanyak 41.500 ton. Dari jumlah itu, ”Untuk keperluan produk sendiri sebanyak 80%,” ujar Rachmat Suhappy, Direktur Produksi PT Sari Husada Tbk.
Angka penjualannya pun terus meningkat. Pada 2003 lalu, angka penjualannya mencapai Rp 1,1 triliun, meningkat dari Rp 1,02 triliun tahun sebelumnya. Adapun laba bersihnya mencapai Rp 220,6 miliar.
Jadi, sepanjang tahun 2003 pertumbuhan volume bertambah sebesar 16%. ”Laba bersih bertumbuh sebesar 24,4%,” tutur Jenny Go, Direktur Marketing Sari Husada.
Nah, betapa besar untung berbisnis susu ini.
Bisnis memang tak Kenal Saudara
Sudah banyak yang tahu, 80% saham PT Sari Husada Tbk dimiliki Nutricia International BV. Perusahaan multinasional asal Negeri Kincir Angin ini juga pemilik PT Nutricia Indonesia Sejahtera (NIS). Uniknya, mereka bersaing untuk produk susu formula balita kelas tengah.
Produk Sari Husada seperti Vitalac adalah sekelas dengan Bebelac milik NIS. Semula keduanya memang rukun-rukun saja. Bahkan saling berbagi pasar. Namun, sejak awal 2004, kongsi ini pecah. Sari Husada pun tak malu lagi membikin produk yang bersaing dengan saudaranya itu. Tengok saja, Vitalac 1, 2, dan 3, SGM 1,2 ,3, dan 4, serta Vitalac LF (Lactosa Free) itu berimpit ketat dengan produk NIS seperti Bebelac 1, 2, dan 3.
(sumber:http://keluargasehat.wordpress.com/2008/03/18/lima-besar-susu-mahal/)

Leave a Reply