“ Ya bu, dorong terus,ya...ambil napas, dorong lagi...alhamdulillah,…sudah keluar, bayinya selamat bu, bayi laki-laki.” Kata-kata seorang dokter wanita berjilbab itu bersemangat.
( Mana bayiku? Aku ingin melihat bayiku! Wajah bayiku mirip siapa? Ayo cepat aku ingin lihat bayiku sebelum semua ini berakhir! Dan aku harus benar-benar yakin aku telah melahirkan, bayi itu pasti ada!!!). Aku yang terbaring lemas diranjang itu terus berteriak-teriak dalam hatiku ingin segera melihat bayi yang telah kulahirkan, mataku terus menatap dokter berjilbab itu penuh harap untuk segera melihat bayi itu, namun bibirku kelu tanpa kata hanya hatiku yang meronta dan keringat berkerumun di sekujur tubuh.
Dokter itu bukannya segera memperlihatkan bayiku, tapi dokter malah terdiam dan terus menatap balik dengan resah. Tiba-tiba dokter itu berkata sambil menatap suamiku “ Ibu harus segera dioperasi…mungkin ada bayi yang akan lahir lagi, kembar.”
Tak lama kemudian dengan perlahan dokter itu memperlihatkan bayi yang tadi lahir kepadaku dan suamiku. Bayi yang begitu manis, hidung manjung, dan tatapan matanya begitu lekat menatapku dengan senyuman yang mengingatkanku pada seseorang. ( Ah benarkah ini bayiku? Wajahnya, hidungnya, mirip sekali dengan suamiku, dan senyuman itu adalah senyuman suamiku!...Subhanallah…benarkah aku telah melahirkannya? ). Aku begitu takjub dan berusaha meyakinkan diriku sendiri bahwa bayi yang dihadapanku itu benar-benar aku yang melahirkan dan bayi tu benar-benar ada di depan mataku. Sementara suamiku selalu disampingku dengan senyuman dan ciuman hangatnya dikeningku, kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
Beberapa lama kemudian lahirlah bayi kembarku, seorang bayi perempuan yang manis dan gemuk. ( Alhamdulillah aku melahirkan bayi kembar, aku dan suamiku memang ingin bayi kembar. Aku punya dua bayi!!!). Aku bergumam dalam hati penuh rasa syukur.
Beberapa tahun kemudian…
“ Subhanallah Abi, Airul senang banget tinggal di pesantren, disana santri-santri belajar banyak hal. Pokoknya Abi, Airul bersyukur banget, terima kasih Abi…”. Sambil mengeluarkan beberapa baju dan buku dari tas, anak laki-lakiku sangat bersemangat menceritakan pengalamannya di pesantren pada suamiku.
“ Laira juga senang di pesantren, banyak temen, dan tentu LLaira semakin pintar disana.” Anak perempuanku menyela kata-kata kakaknya, seolah-olah pesantren itu surga bagi mereka. Sedangkan Aku dan suamiku hanya duduk sambil tersenyum mendengar cerita anak-anakku.
“ Anak kembar kita ternyata sudah besar ya Abi?” tanyaku pada suamiku sambil memperhatikan tingkah laku anak-anakku.
“ Iya mereka sudah besar. terima kasih, Ami telah mendidik mereka dengan baik.” Jawab suamiku sambil mencium keningku.
Beberapa menit kemudian muncul seorang anak lelaki di balik kamar menghampiri suamiku sambil berkata dengan lantang. “ Iya Abi. Alfi juga nanti kalau sudah besar mau kuliah di Mekah.”
“ Emh…emh…anak kecil, jadi Abi harus terus nyari uang dan kamu yang menghabiskannya?” jawab suamiku sambil memangku anak itu dipangkuannya, lalu memeluknya manja.
“ Ya..iya Abi. Alfi kan mau jadi kiayi besar.” Anak kecil itu tegas.
Mendengar perbincangan suamiku dengan anak laki-laki itu membuatku bertanya-tanya siapa anak kecil itu dan hubungannya apa dengan suamiku. ( Loh kenapa anak kecil itu berbincang seolah-olah suamiku adalah Abi-nya? Apakah itu anakku? Kenapa kelahirannya tak terceritakan. Berarti anak itu anakku yang ketiga, anak laki-laki. Subhanallah..)
Disuasana yang lain…
“ Sini Ami, lihat! Rumah kita besar dan halamannya luas kan?” Tanya suamiku sambil memeluk pundakku dan sesekali melihat sekeliling rumah itu.
“ Iya Abi. Alhamdulillah impian Abi punya rumah yang besar terwujud juga.” Jawabku.
“ Iya Ami. Abi kan sudah janji untuk membelikan rumah yang besar untuk Ami. Abi selalu sayang Ami dan akan membahagiakan Ami. Asal Ami selalu mendukung Abi dan bersabar menghadapi semua ini. Kerja keras Abi selama ini tidak sia-sia dan Abi sekarang bahagia anak-anak kita sudah terlahir setelah sekian lama kita menunggu. Terima kasih Ami.” Uraian suamiku panjang.
“ Iya Abi. Alhamdulillah. Terima kasih Abi.” Jawabku penuh syukur dengan tetesan air mata bahagia, lalu suamiku memelukku erat.
Beberapa tahun kemudian...
Sepucuk surat yang di baca Laira membuatnya terkaget-kaget dan penuh tanda tanya dalam hatinya. Setengah berlari Laira menghampiriku dan mempertanyakan tentang apa yang tertulis di surat itu.
“ Apa benar isi surat ini Ami?” Tanya Laira cepat.
“ Surat apa ini Laira ” tanyaku penasaran.
“ Laira nemu surat ini di lantai, karena penasaran Laira membacanya. Ternyata surat ini tulisan Abi untuk seseorang, seperti untuk istri Abi. Apa Abi punya istri selain Ami? Apa ini benar Ami?” desak Laira padaku dengan ragu.
Hatiku langsung terhenyak mendengar kata-kata anakku, namun aku berusaha tenang dan merasa ini adalah saat yang tepat untuk menceritakan kebenaran status Abi yang sebenarnya, apalagi anak-anakku sudah remaja dan berhak mengetahui kebenaran tentang Abi-nya.
“ Iya sayang, Abi punya istri lagi selain Ami. Abi menikah lagi sebelum Ami mengandung kalian semua. Mungkin Abi merindukan kehadiran keturunannya, sementara Ami belum hamil juga selama dua tahun pernikahan. Atau hanya karena keegoisan seorang lelaki dewasa untuk nikah lagi, punya istri dua. Poligami.” Aku menceritakan yang perlu ku katakan pada anakku.
“ Tapi setelah menikah lagi, Abi semakin sayang dan perhatian sama Ami, banyak hal sikap yang berubah menjadi lebih baik dalam diri Abi. Justru karena kasih sayang Abi kian besar pada Ami, membuat Ami belajar ikhlas menghadapi semua yang terjadi dan Alhamdulillah Ami selalu bahagia bersama Abi sampai saat ini. Kalian semua juga pasti bisa merasakan perhatian dan kasih sayang Abi yang besar selama ini kan?” Aku berusaha meyakinkan anakku bahwa Abi adalah sosok seorang suami dan Abi yang baik untuk anak-anakku walau status itu menjadi gelar dalam keluarga kecil kami.
“ Iya Ami. Laira sayang Abi “. Jawab Laira ceria
“ Lalu, sekarang dimana dan bagaimana keadaan istri kedua Abi?” Laira penasaran.
“ Ibu tidak tahu dimana sekarang, yang Ami tahu istri kedua Abi sekarang berjilbab dan punya satu anak lelaki.” Jawabku singkat.
Setelah mendengar kebenaran tentang Abi-nya, Laira menghampiri kakak kembarnya. Kemudian Laira bercerita panjang lebar tentang semua ceritaku tanpa sepatah kata pun yang terlewat, lalu mereka berdiskusi.
“ Kak, kenapa ya dulu Abi menikah lagi hanya karena Ami belum bisa Hamil. Seharusnya Abi lebih bersabar menunggu Ami hamil, kan tidak semua istri hamil dan melahirkan anak dalam waktu singkat setelah menikah. Atau…kalau hanya karena keegoisan Abi ingin beristri dua, rasanya kurang bijak.” Laira mengeluh.
“ Ya itu ada benarnya, tapi jangan lupa keputusan itu atas kesepakatan Abi dan Ami pada saat itu. Taqdir yang menentukan. Dan Itu semua telah terjadi, lebih baik kita sebagai anak tidak usah membahasnya lagi. Lagian kasih sayang dan perhatian Abi selama ini mencerminkan sosok Abi yang baik dan tanggungjawab, iya kan?” penjelasan anak pertamaku lugas.
“ Kakak benar, kita sebagai anak terkadang harus bersikap netral terhadap masalah sensitive yang terjadi pada Abi dan Ami.” Laira menyimpulkan dengan singkat sambil tersenyum lega.
Beberapa menit kemudian…
Laira berlari kecil menuju halaman rumah kami yang luas dan langsung menghampiri tiga gadis remaja yang sedang duduk di bangku taman itu, lalu dengan pelan dan rinci Laira memberitahukan semua kebenaran tentang status Abi pada ketiga gadis itu. Tiba-tiba salah satu dari mereka berkomentar.
“ Kita sepertinya harus netral. Tidak menyalahkan Abi atau memihak salah satu orangtua kita. Apalagi kalau Ami bilang Abi lebih baik dan sayang sama Ami setelah Abi menikah lagi dan kita juga bisa merasakan kalau Abi baik, tanggungjawab, sayang kita semua, dan kita bahagia kan?” kata-katanya semangat.
“ Iya kita bahagia, kita harus netral!!!” sorak Laira dan ketiga gadis itu sambil berpelukan.
Tanpa disadari Laira dan ketiga gadis itu, Aku memperhatikan percakapan mereka dari jauh dan ada perasaan tak percaya atas apa yang kudengar dan kulihat seraya bertanya dalam hati.
( Kenapa Laira memberitahukan dan mendiskusikan masalah Abi pada ketiga gadis itu? Kenapa mereka membicarakan Abi seolah-olah Ayah mereka juga?...oh jangan-jangan ketiga gadis itu anak-anakku juga…berarti anakku semuanya ada enam. Dua laki-laki dan empat perempuan…Ya Allah, apa semua ini benar aku melahirkan enam anak??? Subhanallah…)*(Tnur)*
cerpen perdanaku...