Sungguh beruntung orang yang menyucikan hatinya
Idul Fitri sudah berlalu, tapi kalau di negara kita tercinta ini, Lebaran bisa sampai satu bulan lho ! Coba aja ntar setiap kali kita ketemu atau telpon seseorang pasti minal aidin dulu, dan itu berlangsung hinggaakhir Okotober. Gak percaya? Coba lihat aja entar.
Terus sesudah ini apa? Sesudah kita “kembali fitri” mau ngapain lagi? Ngomongin orang lagi, lupa akan segala penggemblengan selama sebulan (Ramadhan) lalu? Kembalikepada “rutinitas” dan kehidupan “normal” lagi?
Sementara orang Jawa ada yang menggambarkan Lebaran dengan Lebar, Labur, Luber. Lebar (sesudah) maksudnya sesudah melaksanakan puasa. Terus banyak rumah-rumah yang di labur (dicat) kembali, meskipun mungkin belum begitu memerlukan. Dan Luber (berlimpah), maksudnya berlimpahnya makanan.
Idul Fitri tahun ini saya merenungkan kembali Firman Allah dalam surat Al A’la ayat 14 di atas bahwa di hari Idul Fitri ini kita sudah seharusnya mensucikan hati dan jiwa kita agar kita menjadi orang-orang yang beruntung. Sebelum kita menghadap Yang Maha Kuasa. Sungguh rugi jika kita tidak mengadakan perbaikan.
Ada satu cerita yang menurut saya menarik sebagai hikmah idul fitri .
Alkisah ada seorang lelaki tua yang sudah sakit-sakitan dan ia merasa bahwa ia akan segera meninggal. Kemudian dia menemui istrinya yang ke-empat, yang paling muda, paling cantik, pokoknya top deh. Dia berkata: “Neng, kayaknya abang udah mau dipanggil Allah nih, sakit-sakitan mulu. Mau nemenin abang gak neng?”. Dengan lantang istri keempat ini berkata: “Eh, aki-aki, kalau mau mati mah mati aja, Ane masih muda, cantik, masih banyak yang mau. Maap ya, Ane gak sudi nemenin aki-aki mati.”
Lalu dengan perasaan sakit hati, terhina, dilecehkan dan menangis dia menemui istrinya yang ke-tiga. Aki-aki tua tadi mengatakan hal yang sama. Kata istri ketiganya: “Aduh bang, biar kate udah tua, masih banyak yang mau ngawinin ane. Biar ane jadi janda kembang deh, abang pergi aja duluan. Mau mati pake ngajak-ngajak lagi. Ane emang cinta sehidup, tapi tidak semati.”
Pak tua tadi semakin sedih. Kemudian dengan penuh harap dia menemui istrinya yang ke-dua. Dia juga mengatakan bahwa ia sudah hampir mati dan meminta bini ke tiga untuk menemaninya mati. Istri ketiganyapun tidak mau.
Lalu akhirnya dia menemui istrinya yang pertama, yang sudah peot, udah nenek-nenek. Diapun berujar: “Eh, nek, gue kayaknya udah gak kuat nih. Udah mau mati. Sakit gak sembuh-sembuh, berobat kesana kemari ngabisin duit kagak ada hasilnya. Mau enggak nemenin gue mati?”. Apa yang terjadi sungguh di luar dugaan. Dengan perasaan suka cita ia berkata: “Alhamdulillah, aye bersedia bang. Dengan segenap hati ane nemenin dan ngikutin abang menghadap Yang Kuasa.”
Nah, siapakah orang tua yang beristri empat itu? Siapakah pula istri-istrinya? Itu semua adalah gambaran seorang manusia.
Kakek-kakek tadi adalah diri kita sendiri . Diri kita ketika hendak menghadap Illahi Robbi. Yang gelisah ketika menghadapi “saat-saat maghrib”, usia senja. Manusia yang menjadi gelisah karena takut menghadap sang Khaliq. Ia merasa tidak mempunyai bekal untuk kembali. Semua yang ia lakukan di dunia hingga menjelang ajal selama ini adalah penuh pamrih, bukan dilakukan karena Allah. Tapi karena hal-hal yang bersifat duniawi. Subhanallah.
Lalu, istri pertama tadi adalah ruh kita, jiwa kita, hati kita, yang akan menemani kita di alam kubur dan menghadapi yaumul hisab, hari perhitungan. Istri kedua adalah badan kita. Badan yang akan dikubur dan diziarahi keluarga kita nanti (kalau ada yang inget). Istri ketiga adalah anak, istri dan seluruh kerabat handai tolan kita di dunia. Mereka akan ada sepanjang kita hidup. Namun tidak ada satupun dari mereka yang akan menemani kita mati. Dan istri keempat adalah harta, jabatan, dan kesenangan-kesenangan duniawi . Semua tidak ada gunanya lagi. Tidak ada yang kita bawa “pulang”. Semua menjadi warisan kita yang sering kali jadi rebutan bagi anak cucu kita.
Now what? Apa yang telah, sedang dan akan kita lakukan terhadap “istri-istri” kita? Sungguh beruntung jika kita dapat menggunakan semua hanya karena Allah sehingga memberikan sumbangsih, memberikan bekal untuk “pulang”. Tidak justru menimbulkan finah buat kita. Mungkin (Cuma mungkih lho) selama ini kita sudah banyak beramal, sedekah, nyumbang ke sana kemari, tapi apakah semua kita lakukan dengan ikhlas? Sampai sekarang bahkan jumlah besar yang kita berikan itu masih kita ingat dengan jelas. Kita masih mengingat sumbangan kita. Namun, sering pula kita memberi pengemis dan orang-orang entah siapa sekedar seribu atau limaratus rupiah, dan karena jumlahnya kecil, kita telah melupakannya sama sekali. Namun, siapa tahu justru “modal” kita yang seribu rupiah itulah yang akan menyelamatkan kita karena keihlasan kita.
Karenanya, selagi dalam suasana yang fitri nan indah ini, marilah kita menyucikan hati kita, diri kita, menggunakan segala yang kita miliki di jalan Allah dengan ikhlas. Ramadhan telah menjadi ajang pelatihan kita untuk ikhlas, bersabar dan lebih mendekatkan diri kepada Allah. Semoga kita termasuk kedalam orang-orang yang beruntung. Wallahu alam.
Ya Allah, dengan Ramadhan
Selamatkan kami dari segala musibah dan penderitaan
Bersihkan hati kami dengan maghfirah dan rahmat Mu
Gantikanlah penderitaan kami dengan keindahan dan kekabahagiaan
Ya Allah,
Lepaskan kami dari segala dosa kami
Keluarkan kami dari segala kesalahan kami
Selamatkan kami dari segala musibah
Jadikan kami
orang yang paling bahagia
orang yang mendapat keuntungan dari sisi-Mu
Shalawat dan salam untuk kekasih kami Rasulullah SAW dan keluarganya
Amien Ya Robbal alamin.
( http://
(image:google)