Selamat Datang Di Pondok Tnur
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
sperky, prstene
Posted by PONDOK TNUR - - 0 komentar

MARKUM yakin dan percaya, bahwa di dalam bulan
Ramadhan ini ada sebuah malam yang lebih baik
daripada malam seribu bulan, yakni malam lailatul qadar.
Seperti yang pernah ia dengar dari Ustad Sahroni,
seorang ustad yang menjadi penceramah di masjidnya.
Markum penasaran, kapan kira-kira malam lailatul qadar
itu datang. Untuk itulah ia ingin menanyakan lebih detil
lagi pada Ustad Sahroni. Sore hari, sebelum buka puasa,
Markum mendatangi masjid untuk bertemu beliau.
“Tad, kira-kira kapan malam lailatul qadar itu datang.
Apakah malam ini, atau besok? Tolonglah ustad kasih
tahu ke saya. Saya ingin sekali bertemu dengannya….”
Ustad Sahroni tersenyum mendengar pertanyaan Markum,
“Kum, nggak ada yang tahu kapan datangnya malam
lailatul qadar . Saya sendiri juga nggak tahu….”
“Lho , ustad kan pernah bilang, kalo malam lailatul qadar
itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan. Tolonglah ustad, kasih tahu saya. Atau
jangan-jangan Pak Ustad merahasiakannya, supaya Ustad
sendiri yang tahu dan bertemu dengannya…?”
Ustad Sahroni menghela napas panjang. Lalu geleng-
geleng kepala. Itu artinya, Ustad Sahroni benar-benar
tidak tahu. Atau mungkin menandakan beliau bingung
menghadapi salah satu warganya yang satu ini.
“Pak Ustad nggak usah pelit begitu, dong… Pak Ustad
pasti tahu. Kalau memang nggak mau menyebut kapan
waktunya, bolehlah ciri-cirinya Pak. Saya kan ingin sekali
bertemu pada malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Tolonglah Pak Ustad….”
“Haduh, Kum… kamu kok, maksa? Begini saja. Dalam
salah satu riwayat, saya pernah membaca. Malam lailatul
qadar itu terjadi di malam-malam ganjil pada sepuluh
malam terakhir….”
Markum mengangguk-angguk mengerti, “Jadi, Tad, kalau
nggak malam ke-21, berarti malam ke-23? Atau malam
ke-25, ke-27, atau… ke-29? Wah, banyak betul
pilihannya Pak Ustad…?!”
Ustad Sahroni garuk-garuk kepala.
“Ya sudah kalau begitu. Biar nanti saya cari sendiri.
Terima kasih, Pak Ustad. Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salaam…”
Markum meninggalkan masjid. Ustad Sahroni
memandangi kepergian Markum dengan tatapan heran.
Namun di dalam hatinya, beliau senang betul melihat
kemauan Markum beribadah di bulan Ramadhan ini,
apalagi sampai ingin menemukan malam lailatul qadar
segala. Sepengetahuan Ustad Sahroni, selama ini
Markum bukan cuma jarang ke masjid. Tetapi dia
pemuda pengangguran yang malas dan kerap ketahuan
mencuri sandal penduduk.
***
Pada Ramadhan malam ke dua puluh satu, Markum
sudah bersiap-siap menghadapi malam lailatul qadar .
Siangnya sengaja Markum tidur seharian. Supaya
malamnya bisa begadang untuk bertemu pada malam
yang lebih baik daripada malam seribu bulan. Kalau
memang benar, dia berencana akan berdoa kepada
Tuhan, supaya diberikan limpahan rezeki dan dikaruniai
jodoh.
Markum pernah mendengar kabar burung tentang Haji
Duloh, bahwa dulunya ia pernah berdoa di malam lailatul
qadar . Waktu itu beliau berdoa minta diberikan keluasan
rejeki. Dan semua itu terwujud. Sekarang ini Haji Duloh
punya lima buah toko pakaian. Dua kali naik haji. Punya
istri tiga. Mobil enam. Rumah empat. Kontrakkan
berpuluh pintu. Dan tanah yang sungguh teramat luas.
Markum yakin kalau semua itu berkat malam lailatul
qadar . Untuk itulah ia ngotot pada ramadhan kali ini bisa
bertemu dengan malam yang dimaksud.
Selepas mengikuti salat tarawih berjamaah, Markum ke
warung Ucok memesan obat nyamuk oles. Markum tak
mau diganggu nyamuk-nyamuk nakal itu. Menurut Pak
Anwari, marbot masjid yang tidur di masjid, nyamuk-
nyamuk nakal suka mengganggunya. Markum tak mau
bertemu malam lailatul qadar bersama-sama dengan
nyamuk. Bisa-bisa konsentrasinya terganggu lantaran
gangguan nyamuk-nyamuk itu.
Di masjid sudah terdapat beberapa jamaah lainnya yang
tengah mengaji atau beberapa orang yang tidur-tiduran
melepas lelah. Markum sengaja berdiam di salah satu
sudut, agar jamaah lainnya tidak melihat atau merasa
pangling padanya. Sebab baru malam ini ia bermalam di
masjid.
Sambil menunggu penghujung malam, Markum bersandar
di dinding masjid yang terasa sejuk. Obat nyamuk cair
sudah ia oleskan ke sekujur tubuh. Terdengar beberapa
orang membaca ayat suci Alquran sedemikian merdu. Hal
itu membuat Markum terkantuk-kantuk. Dan Markum yang
dasarnya doyan tidur pun secara tak sengaja mengorok.
Ia baru bangun saat Pak Anwari membangunkan warga
sahur dengan pengeras suara. Markum tersentak dan
kebingungan. Ia merasa gagal bertemu dengan malam
lailatul qadar !
“Kum, kok sedih begitu…??” tanya Pak Anwari, paginya
saat berpapasan di sebuah jalan dekat masjid.
“Saya gagal bertemu malam lailatul qadar …,” lirih
Markum.
“Lha , emangnya semalam itu malam lailatul qadar ,
Kum?”
“Ya, benar. Kan semalam itu malam ke-21. Malam
ganjil!”
“Ah, belum tentu, Kum! Soalnya pas subuh tadi saya lihat
langit, nggak keliatan terang….”
Markum kebingungan mendengar kata-kata Pak Anwari.
“Terang gimana, Pak? Subuh kan emang belum terang?
Soalnya matahari masih belum kelihatan….”
“Kalau memang benar malam lailatul qadar , akan keliatan
cahaya terang setelah fajar. Itu salah satu ciri malam
lailatul qadar lainnya, Kum….”
Markum mengangguk-angguk mengerti, “Berarti malam
lailatul qadar belum datang…,” batin Markum.
Pada malam ke-23, Markum kembali bermalam di masjid.
Tujuannya masih sama, ingin menyambut malam lailatul
qadar . Markum tak ingin ketiduran lagi. Markum memesan
kopi supaya tidak mengantuk. Sepanjang malam itu
Markum berdoa, yakin kalau malam itu malam lebih baik
dari seribu bulan.
Tapi paginya, saat melihat ke arah terbitnya matahari,
Markum tak menemukan cahaya itu. Boleh jadi, langit
sedang mendung. Yang datang justru gerimis. Markum
hanya bisa menghela napas berat. Markum yakin, kalau
malam itu bukanlah malam lailatul qadar !
Markum tidak putus asa. Di malam ganjil yang lain, yakni
malam ke dua puluh tujuh, Markum kembali bermalam di
masjid. Seperti malam sebelumnya, yakni pada malam
ganjil sepuluh malam terakhir yang lalu, Markum pun
berusaha sekuat tenaga untuk tidak terlelap. Sepanjang
malam itu Markum berdoa. Markum tidak sendirian. Di
masjid terdapat beberapa orang melakukan hal yang
sama. Tapi Markum tidak tahu, apakah mereka juga
tengah berharap bertemu dengan malam lailatul qadar
seperti dirinya. Markum ingin bertanya, tapi gengsi.
Takutnya ia dicap bermalam di masjid hanya karena
berharap bertemu dengan malam lailatul qadar , padahal
memang begitu adanya.
Di tengah malam, saat tengah khusuk berdoa, tiba-tiba
lampu mati. Masjid menjadi gelap. Semilir angin bertiup
lebih kencang dari biasanya. Pepohonan di luar masjid
bergoyang-goyang diterpa angin malam. Sesekali
terdengar suara halilintar. Inikah malam lailatul qadar
itu…?
Markum belum yakin. Lampu masjid gelap ternyata
karena memang mati lampu. Belakangan ini sudah biasa
lampu PLN byar pet , karena alasan tertentu. Angin bertiup
agak kencang dan hujan turun karena cuaca memang
sering tak bisa diterka. Halilintar sudah biasa terdengar
kalau keadaan hendak hujan. Jadi, apa yang membuatnya
berpikir bila malam ini malam lailatul qadar ?
Demi menguji kebenaran apakah malam lailatul qadar
atau bukan, Markum pun berdoa. Kalau doanya
dikabulkan, berarti malam ini malam lailatul qadar .
Markum pun berdoa semoga mendapatkan rizki. Kalau
jadi kenyataan, berarti malam ini tak salah lagi, malam
yang lebih baik dari seribu bulan. Malam dimana orang
akan mendapat pahala berlipat ganda. Dan semua doa-
doa dikabulkan Tuhan.
Semalaman suntuk Markum berdoa. Paginya, setelah
makan sahur, Markum melongok ke arah terbitnya
matahari. Ia melihat cahaya yang begitu terangnya meski
matahari belum kelihatan. Barangkali memang benar
bahwa tadi malam adalah malam lailatul qadar ?
Kalau begitu, Markum tinggal menunggu doa-doanya
dikabulkan. Semalam ia minta dua permintaan, yakni
memohon diberikan keluasan rizki dan minta cepat-cepat
mendapat jodoh. Markum tinggal menunggu doanya
dikabulkan Tuhan. Tapi, berapa lama ia harus menunggu?
Apakah sehari, dua hari… tiga hari? Seminggu, dua
minggu… atau sebulan? Atau tiga bulan…? Atau jangan-
jangan setahun…??
Untuk menghilangkan rasa penasaran, Markum
mendatangi kediaman Haji Duloh. Markum ingin
menanyakan kebenaran tentang malam lailatul qadar itu.
Terutama soal berapa lama ia harus menunggu doanya
dikabulkan Tuhan.
“Kum, denger ye…, Gue emang punya lima toko kain.
Tapi semua itu dari hasil kerja keras gue selama puluhan
tahun! Kalo pun gue udah dua kali naik haji, karena gue
mampu bayarnya, yang duitnya dari keuntungan toko-toko
gue tadi. Terus kalo pun gue udah tiga kali kawin, karena
gue emang ganteng, nggak kayak elo…? Heheh, maaf
Kum, bukannya nyindir . Terus, kalo pun gue punya
banyak mobil, rumah, semuanya dari hasil kerja keras.
Kalo elo mau kayak gue , elo kudu kerja keras juga. Nggak
cuman berharap duduk-duduk di dalem mesjid…?” terang
haji Duloh panjang lebar, membuat Markum sesak nafas.
“Kalo begitu, percuma dong saya berdoa malem-malem
di malam lailatul qadar ?” ujar Markum.
“Lha , doa tuh kagak ada yang percuma, Kum! Kalo pun
kagak dikabulkan di dunia, mungkin nanti di akhirat.
Lagian, emang siapa yang tahu malam datangnya lailatul
qadar ? Nabi aja kagak tahu kapan persisnya.”
“Wah, berarti saya ketipu , Pak Haji…??!”
“Hah?! Ketipu pegimane??”
“Soalnya saya udah nguber-nguber malam lailatul qadar
itu? Kalo nggak ada hasilnya, kan percuma…?”
“Kum, malam lailatul qadar itu kagak perlu dikejar! Kalau
Allah berkehendak, dia yang bakalan datengin elo.…”
“Masak sih Pak Haji?”
“Ye, yang penting elo ikhlas….”
Setelah mendapat penjelasan dari Haji Duloh, Markum
pulang. Pada malam yang ke-29 dan ke-30, meski tidak
bermaksud mengejar malam lailatul qadar , Markum
ternyata tetap bermalam di masjid. Markum tidak mau
berdoa muluk-muluk. Dia hanya ingin punya uang buat
lebaran.
Ustad Sahroni, yang melihat kegigihan Markum, siangnya
menghampiri Markum. Kebetulan Ustad Sahroni lagi
dapat rezeki lebih. Ustadz Sahroni memberikan amplop
buat Markum, karena beliau merasa senang pada Markum
yang mau berubah. Selain itu, semalam Ustad Sahroni
yang berjalan melintasi masjid mendengar doa Markum
yang diucapkan keras-keras itu.
Setelah mendapat amplop dari Ustad Sahroni, Markum
merasa bahwa semalam ia benar-benar telah menemukan
malam lailatul qadar ! (*)
(Sumber:cerpenkoranrepublika)
(Image:google)

Leave a Reply