Selamat Datang Di Pondok Tnur
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
sperky, prstene
Posted by PONDOK TNUR - - 0 komentar

Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya
yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan
kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi
sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama
sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan
wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama
kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi
senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan
pandanganku.
Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak
menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin
mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis
tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya
berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku.
Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi
pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis.
Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat
apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami
berbicara. Aku teringat betapa aku tak pernah
memperhatikan kesehatannya.
Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia
selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan
vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika
mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen
mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang
menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah
tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya.
Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai.
Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah
penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak
mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan
mie instant karena aku hampir tak pernah memasak
untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku
sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika
pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa.
Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor
cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi
permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena
tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku
pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan
tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai
terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan
rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku
membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu
mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah
kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku
malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di
hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu
memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku
membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat
suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek
dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku
berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku
yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar
mandi berharap ia yang datang.
Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa
melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya
kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku
menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku
terbangun dengan sosoknya disebelahku. Dulu aku begitu
kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi
sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu
mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering
berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar
tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal
jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di
laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi
komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya
masih tertinggal disana. Dulu aku paling tidak suka ia
membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya
yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau
kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya,
sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa
mengganti kehilangannya dengan kehilangan remote. Semua
kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa,
dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena
semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku
marah karena baju-bajunya masih disana meninggalkan
baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa
menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak
ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang
mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan
ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta
maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang
dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi
istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna.
Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi
sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu
banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak.
Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak
pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah
kepergian suamiku. Empat puluh hari setelah kematiannya,
keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan.
Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi.
Kembali rasa bingung merasukiku.
Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua
dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini
aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah
yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan
pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa.
Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir
beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku
terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer
ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun
menggunakan untuk keperluan rumah tangga.
Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya
sekalipun soal itu. Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja
atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji
terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk
menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja dimana? Aku hampir
tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu
diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku
datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali
dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat
pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh
kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya
dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu
berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
"Istriku tersayang,
Maaf karena aku harus meninggalkanmu terlebih dahulu.
Maaf karena harus membuatmu bertanggung-jawab
mengurus segalanya sendiri.
Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang
lagi.
Allah telah memberikanku kebahagiaan karena memilikimu
dan juga anak-anak. Bagiku, menyayangimu dan merawat
anak-anak adalah hal terbaik dalam hidupku. Seandainya aku
bisa, aku ingin mendampingi kamu selamanya. Aku tak ingin
kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja.
Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk
kehidupan kamu dan anak-anak kita nanti. Sayang, aku tak
ingin melihat dan mendengar kamu susah setelah aku tiada.
Tak banyak yang bisa kuberikan, tetapi aku berharap kamu
bisa memanfaatkan tabungan itu untuk membesarkan dan
mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya
sayang.
Sayangku yang manja, jangan nangis yah..
Lakukanlah banyak hal terbaik untuk hidupmu yang selama
ini pernah terbuang percuma. Aku selalu memberikan
kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang
mungkin tak sempat kamu lakukan selama ini.
Maafin aku ya sayang, kalau aku sering nyusahin kamu
selama ini. Aku tahu selama ini kamu tak pernah tulus
mencintaiku, namun aku ingin kamu tahu satu hal. Besarnya
cintaku untukmu, melebihi kebencianmu padaku duhai istriku
yang cantik.
Semoga Tuhan memberikanmu jodoh yang lebih baik dariku.
Kemanapun aku pergi, aku akan selalu menyayangimu. Aku
mencintai kamu selamanya."
"Teruntuk Farah, putri tercintaku.
Maafkan ayah, karena ayah tidak bisa mendampingi kamu
hingga hari pernikahanmu nanti. Jadilah istri yang baik
seperti Ibumu."
"Untuk Farhan, ksatria pelindungku.
Jaga Ibu dan Farah ya sayang. Jangan jadi anak yang bandel
lagi dan harus selalu nurut sama ibu. Ayah akan selalu
bahagia melihat kalian disana. Oke, Buddy!"
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan
kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia
mengirimkan note. Notaris memberitahukanku bahwa, selama
ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan
deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku
membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan
tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil, meskipun
dikelola oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa
menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada
kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri
kami dengan kasih sayang.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi.
Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus
sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari
demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku.
Kini kedua anak-anak kami berusia 23 tahun. Dua hari lagi
putri kami menikah dengan seorang pemuda dari tanah
seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana
nanti setelah menjadi istri? Soalnya Farah kan ga bisa masak
dan ga bisa nyuci, gimana ya bu?” Aku merangkulnya sambil
berkata, “Yang harus kamu lakukan adalah cinta dan
sayang. Cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah
apa yang ia miliki dan kamu akan mendapatkan apa yang
kamu harapkan. Karena dengan cintalah kamu akan belajar
menyenangkan hatinya dan akan belajar menerima
kekurangan suamimu nanti. Sebesar apapun persoalan yang
akan kalian hadapi nanti, kalian akan menyelesaikannya atas
nama cinta dan sayang.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta
itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai
sekarang?” Aku menggeleng, “Bukan, sayangku. Cintai dan
sayangilah suamimu nanti seperti ayah mencintai ibu dulu.
Seperti ayah mencintai kamu dan Farhan. Ibu setia pada
ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan
kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan
cintaku pada suamiku. Aku pernah menghabiskan 10 tahun
untuk membencinya, tetapi kini aku telah menghabiskan
hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku
bebas darinya karena kepergiannya, tapi aku tak pernah bisa
bebas dari cintanya yang begitu tulus untuk aku dan anak-
anak kami.
Maafkan aku suamiku tersayang, semoga kamu diterima
disisi-Nya. Amiin..
( Http://hohattenelahatte.blogspot.com/2012/12/kisah-nyata-
suamiku-maafkan-aku-part-2.html?m=1 )
(Image:google)

Leave a Reply