Selamat Datang Di Pondok Tnur
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
sperky, prstene
Posted by PONDOK TNUR - - 0 komentar

Assalamu'alaikum
Ustadzah, bagaimana jika ada seseorang ber- azzam kelak
ketika meninggal tubuhnya diperuntukkan sebagai objek
penelitian ilmu kedokteran sehingga jasadnya itu tak dikubur.
Apakah itu diperbolehkan? Mohon penjelasannya.
Wassalamu’alaikum
ISTI, JAKARTA

Wa'alaikumussalam
Isti yang shalihah, Islam telah mengajarkan umatnya
bagaimana kewajiban dalam memperlakukan jenazah
manusia. Mulai dari memandikan, mengafani, menshalatkan,
sampai menguburkannya secepat mungkin, hukumnya adalah
fardhu kifayah. Hal ini merupakan aturan secara umum
bagaimana memperlakukan jenazah manusia dalam ajaran
Islam.
Pada saat ilmu kedokteran berkembang pesat, jenazah
manusia bisa ditunda penguburannya dengan berbagai
alasan, seperti otopsi (bedah mayat). Umumnya, penundaan
tersebut bertujuan untuk mempelajari ilmu anatomi (otopsi
anatomis), mengetahui berbagai hal yang terkait dengan
penyakit (otopsi klinis), atau untuk mengetahui sebab
kematian (otopsi forensik) suatu peristiwa pembunuhan dalam
rangka penegakan hukum. Semua itu dilakukan untuk
kepentingan umat manusia.
Dalam Islam, belum banyak literatur fiqih klasik yang
membahas masalah kontemporer ini. Jawabannya pun belum
ditemukan secara detail di dalam Al-Qur`an maupun Hadits.
Oleh karena itu, para ulama fiqih ( fuqaha ) telah melakukan
ijtihad setelah mengkaji berbagai norma hukum yang ada,
dan telah terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi
hukum mendonorkan anggota tubuh manusia untuk
kepentingan penelitian.
Para ulama yang melarang pemanfaatan jasad manusia
berdalil menjaga kehormatan manusia, sebagaimana yang
diriwayatkan Rasulullah saw dalam sabdanya, “Mematahkan
tulang mayat seperti mematahkannya ketika dia hidup,” (HR
Ahmad, Abu Daud).
Sedangkan para fuqaha Syafi'iyah, sebagian Hanafiyah dan
beberapa fuqaha Malikiyah membolehkan pemanfaatan jasad
manusia dengan asas darurat (keterpaksaan) untuk
kemaslahatan yang lebih besar. Pada prinsipnya, hukum
dasar masalah ini berada pada posisi dilarang oleh mereka,
seperti membedah perut mayat untuk mengeluarkan harta
yang ditelannya ketika dia hidup.
Dr Muhammad Nu'aim Yasin mengutip berbagai pandangan
para fuqaha , beliau menjelaskan bahwa apabila seseorang
telah berwasiat untuk mendonorkan anggota tubuhnya
(termasuk menyerahkan jasadnya untuk kepentingan ilmu
kedokteran), maka wasiat itu bisa dijadikan pegangan dan
bisa dilaksanakan setelah kematiannya, dan dia harus
mempertimbangkan kembali sebelum meninggal.
MUI juga sudah mengeluarkan fatwa No. 19 tanggal 5
Februari 1988 yang menyebutkan bahwa penyelidikan ilmiah
terhadap mayat tidak dilarang oleh Islam. Akan tetapi setelah
dipakai penyelidikan, mayat tersebut wajib dikuburkan
kembali.
Sidang Komisi Fatwa MUI kemudian melengkapi keputusan
tersebut dengan beberapa klausul. Pertama , hukum asal
pengawetan jenazah adalah haram. Sebab jenazah manusia
itu terhormat. Orang yang hidup wajib memenuhi hak-hak
jenazah. Salah satunya, menyelenggarakan penguburan
jenazah.
Kedua , pengawetan jenazah untuk penelitian dibolehkan, tapi
terbatas ( muqoyyad). Dengan ketentuan, penelitian itu
bermanfaat untuk pengembangan ilmu, mendatangkan
maslahat lebih besar atau memberikan perlindungan jiwa,
bukan hanya untuk praktik semata.
Ketiga , sebelum pengawetan, hak-hak jenazah Muslim harus
dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani dan dishalati.
Pengawetan jenazah untuk penelitian harus dilakukan dalam
batas proporsional, yaitu hanya untuk penelitian. Jika
penelitian telah selesai, jenazah harus segera dikuburkan
sesuai dengan ketentuan syariat Islam.

(http://ummi-online.com/berita-370-jasad-untuk-obyek-penelitian.html)
(Image:google)

Leave a Reply