Apakah keluarga berencana diperbolehkan dalam Islam? Umat Islam mempunyai tiga sumber pengetahuan untuk mendapatkan jawaban yang berhubungan dengan berbagai macam aspek kehidupan manusia. Ketiga sumber tersebut adalah:
1. Alqur’an
Tidak ada ayat Qur’an yang melarang tentang keluarga berencana. Namun, beberapa ayat Qur’an melarang infanticide (pembunuhan terhadap bayi) dan ayat inilah yang digunakan oleh beberapa muslim sebagai alasan untuk melarang kontrasepsi. Namun, kontrasepsi tersebut tidak bermaksud untuk membunuh manusia. Ayat-ayat tersebut, faktanya, diturunkan untuk melarang bangsa Arab zaman jahilliyah untuk tidak membunuh atau mengubur hidup-hidup bayi yang baru lahir (terutama bayi perempuan) dikarenakan faktor kemiskinan orangtuanya atau ketidak inginan orangtuanya untuk memiliki bayi perempuan. Mungkin dalam masa itu masih belum adanya pengetahuan tentang cara aman kontrasepsi dan aborsi dini (dengan indikasi medis).
2. Hadits dan Sunnah Nabi Muhammad SAW
Prinsip pencegahan konsepsi telah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW yang mengizinkan para umatnya untuk melakukan ‘azl atau dalam medis lebih dikenal dengan nama sanggama terputus (coitus interruptus). Hadits ini menguatkan kehalalan kontrasepsi dalam Islam dan sekaligus menjadi dasar perbedaan pendapat terhadap pemikiran Islam tentang KB. Ada beberapa sumber yang hadis yang berhubungan dengan kontrasepsi. Hadits yang paling sering dipakai adalah:
1. Menurut Jabir, “Kami menggunakan ‘azl pada masa Nabi Muhammad SAW saat Al-Qur’an sedang diturunkan”. Ada versi lain yang dari hadits yang sama, “Kami menggunakan ‘azl pada masa Nabi Muhammad. Berita ini telah sampai kepadanya dan beliau tidak melarang kami”.
2. Menurut Jabir, “Seorang datang menghadap Rasulullah dan berkata, ‘Aku mempunyai budak wanita, dan kami membutuhkannya sebagai pembantu kebun palem. Aku berhubungan (seks) dengannya, namun aku takut jika ia akan hamil.’ Nabi menjawab, ’Lakukan ‘azl jika engkau menginginkannya, agar ia mendapatkan apa yang ditakdirkan padanya.’”
3. Menurut Abu Sa’id, “Kami berkuda dengan Rasulullah untuk menyerang Banu Al-Mustaliq dan menahan beberapa tawanan wanita…kami berhasrat terhadap mereka dan kami sulit untuk menjalankan pantangan. (Tapi) kami ingin melakukan ‘azl, dan kami bertanya kepada Rasulullah. Beliau bersabda, “Engkau tidak perlu ragu, Allah mentakdirkan apa saja yang akan diciptakan-Nya sampai hari kiamat.”
4. Menurut Abu Sa’id, “Kaum Yahudi berakata bahwa ‘azl sama dengan membunuh bayi baru lahir, dan Rasulullah menjawab, ‘Para Yahudi itu berbohong, jika Allah akan menciptakan sesuatu, maka tidak ada satupun yang bisa menghalangi kehendak-Nya (atau mempengaruhi-Nya).’”
5. Menurut ‘Umar bin Khatab, “Rasulullah melarang untuk melakukan ‘azl kepada wanita bebas kecuali tanpa izin darinya.”
6. Menurut Anas, “Seseorang bertanya kepada Rasulullah tentang ‘azl dan Beliau menjawab, ‘Bahkan jika engkau menumpahkan setetes mani pada batu agar terlahir seorang anak, Allah akan menciptakan anak yang terlahir dari batu itu.’”
7. Menurut Judhamah binti Wahab, “Aku berada disana ketika Rasulullah sedang dalam sebuah perkumpulan dan berkata, ‘Aku baru saja akan melarang tentang ghila (hubungan seks ketika sedang dalam masa menyusui) namun Aku memperhatikan kaum Romawi dan Persia, dan Aku melihat mereka melakukannya, dan anak-anak mereka tidak dirugikan.’ Mereka bertanya tentang ‘azl dan Rasulullah menjawab, ‘Itu adalah pembunuhan bayi secara tersembunyi…’”
Hadits-hadits di atas menggambarkan dua maksud: Pertama, Rasulullah mengetahui tentang ‘azl dan tidak melarangnya (nomor 1), dan yang kedua, Rasulullah sendiri yang mengizinkan ‘azl (nomor 2 dan 3).
Hadits dari Judhamah (nomor 7) merupakan perkiraan dari tradisi pembunuhan dari kaum Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menguatkan pandangan Ibn Hazm bahwa ‘azl dilarang oleh Rasulullah. Namun, para ahli hukum Islam abad pertengahan menggunakan hadits tentang Yahudi (nomor 4) untuk menyangkal argumen tentang larangan ‘azl. Mereka mengklaim bahwa Rasulullah mempertahankan kebohongan kaum Yahudi yang menyamakan ‘azl dengan pembunuhan terhadap bayi baru lahir dan Rasulullah menetapkan sabdanya tersebut untuk dirinya sendiri.
3. Pandangan paran ahli dalam penerjemahan ajaran Islam
Para ahli hukum Islam mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang pencegahan kelahiran berdasarkan keadaan-keadaan tertentu dan metode yang aman untuk melakukan pencegahan kelahiran. Para ahli hukum memutuskan aturan penggunaan kontrasepsi berdasarkan empat prinsip atau sumber (usul). Dua diantaranya adalah (Qur’an dan Sunnah) berasal dari sumber Islam. Dua prinsip lainnya adalah merupakan pemikiran analogis (qiyas) dan konsensus para ulama (ijma’).
Analisis yang paling detail tentang pandangan Islam terhadap kontrasepsi telah dibuat oleh pimpinan Sekolah Jurnalis Shafi’I, al-Ghazzali (1058-1111). Dia membahas isu tersebut dalam tulisannya, Ihya’ ‘ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu Pengetahuan Agama), pada bab ilmu biologi dalam agama.
Al-Ghazzali menyatakan bahwa tidak ada dasar pelarangan ‘azl. Jika ingin melarang suatu tindakan dalam Islam, satu-satunya cara adalah dengan mengemukakan teks asli (nass, ketetapan eksplisit pada Alqur’an atau hadits) atau dengan analogi dari teks tersebut. Pada kasus kontrasepsi, tidak ada teks yang berhubungan dengan pelarangannya, atau prinsip-prinsip yang mendasari pelarangan tersebut.
Dalam pandangannya, coitus inturruptus mempunyai hukum mubah dan hukum ini dibuat berdasarkan qiyas. Seorang pria dapat tidak menikah, namun tidak akan bisa berpantang dari kawin atau berhubungan seksual, tetapi seorang pria dapat melakukan ejakulasi di luar vagina (‘azl). Meskipun akan lebih baik jika menikah, melakukan hubungan suami-istri, dan ejakulasi didalam vagina, jika berpantang dari hal tersebut tidaklah dilarang ataupun berlawanan dengan hukum Islam.
Al-Ghazzali membuat perbedaan antara infanticide dan kontrasepsi. Al-Ghazzali mengatakan seorang anak tidak selalu tercipta oleh pengeluaran cairan sperma, namun bisa juga dengan pengendapan semen (cairan yang membawa sperma) pada rahim wanita. Jadi, kontrasepsi tidak bisa dibandingkan dengan infanticide, yang merupakan pembunuhan terhadap makhluk hidup, sedangkan kontrasepsi tidak dimaksudkan untuk membunuh.
Pada proses kontrasepsi, pengeluaran hasil reproduksi pria dan wanita dianalogikan sebagai dua unsur, menawarkan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang merupakan bagian dari sahnya suatu perjanjian dalam hukum Islam. Seseorang yang membuat suatu perjanjian lalu membatalkannya sebelum pihak yang diajak mengadakan kontrak menerimanya, maka hal itu tidak melanggar hukum, karena sebuah perjanjian tidak akan tercipta sebelum adanya persetujuan. Cara yang sama diterapkan oleh Al-Ghazzali, tidak ada bedanya antara pengeluaran hasil reproduksi pria atau retensi dari semen, kecuali jika hasil reproduksia pria tersebut bercampur dengan hasil reproduksi wanita.
Al-Ghazzali mengklasifikasikan opini dari masa lalu dengan masa sekarang menjadi tiga buah:
1. Melakukan ‘azl tanpa syarat;
2. Melakukan ‘azl jika diizinkan oleh istri, namun diharamkan jika tidak diizinkan oleh istri. Hal ini merupakan pandangan dari kelompok Hambali dan Maliki dari lulusan sarjana Zaydiyah dan ‘Ibadites, orang-orang yang selamat dari sekte Kharijite. Menurut beberapa sarjana Hanafi, kondisi ini menjadi mustahil jika suami meyakinkan bahwa anak yang akan lahir akan tumbuh dalam lingkungan moral yang kurang sehat.
3. Diharamkan melakukan ‘azl, menurut penilaian Ibnu Hazm dan pengikutnya di Sekolah Zahiriyah. (13)
Al-Ghazzali dapat menerima alasan melakukan kontrasepsi jika mempunyai alasan seperti: (1) keinginan untuk menjaga kecantikan dan kesehatan istrinya, atau menyelamatkan hidupnya; (2) keinginan untuk menghindari kesulitan ekonomi dan aib; (3) mengikuti aturan negara karena adanya ledakan penduduk. Al-Ghazzali tidak menerima alasan melakukan kontrasepsi yang dikarenakan jika yang lahir adalah bayi perempuan.
Sarjana terkenal lain, Ibnu Taymiyah, pada awal abad keempat belas juga membahas tentang kontrasepsi. Ibnu Taymiyah menyatakan, “Allah menciptakan anak-anak manusia dan hewan dalam rahim dengan kerelaan orangtuannya melakukan persenggamaan, dan pertemuan kedua hasil reproduksi di dalam rahim. Seorang yang bodoh mengatakan, ‘Aku akan bergantung kepada Tuhan dan aku tidak akan mendekati istriku dan jika Allah menghendaki agar aku mempunyai anak, maka akan terciptalah anak itu, jika tidak terciptanya anak itu, maka aku tidak perlu menggaulinya.’ Sangatlah berbeda antara melakukan hubungan intim dengan melakukan ‘azl, karena ‘azl tidak mencegah kehamilan jika Allah menghendaki adanya kehamilan, akibat adanya pre-emisi (pengeluaran dini) dari semen yang bersifat secara tidak sadar (involunter).”
Pada masa awal kesarjanaan Muslim, hanya satu ahli hukum yang menolak ‘azl. Dia adalah orang Spanyol yang bernama Ibnu Hazm (994-1063), lulusan Sekolah Jurnalis Zahiriyah. Ibnu Hazm berargumen bahwa hadits-hadits yang mengizinkan ‘azl datang pada masa-masa yang lebih awal dan mencerminkan sebuah fakta bahwa Islam memperbolehkan seluruh hukum sampai Nabi Muhammad SAW melarang beberapa diantaranya. Argumen Ibnu Hazm ini didasari oleh hadits yang dikutip dari Judhamah binti Wahab.
Ibnu Hazm menyatakan bahwa Rasulullah mencabut hadits-hadtis yang mengizinkan ‘azl ketika beliau bersabda bahwa ‘azl adalah ‘pembunuhan bayi secara tersembunyi’. Karena Qur’an sangat melarang pembunuhan terhadap bayi, dan Rasulullah menyebut coitus interruptus sebagai pembunuhan bayi secara tersembunyi, maka Ibnu Hazm menyatakan bahwa ‘azl juga dilarang.
Pendapat Ibnu Hazm akhirnya dilawan oleh ahli-ahli hukum pada masa selanjutnya. Pendapat yang paling terkemuka adalah dari sarjana Hambali, Ibnu Qayyim al-Jawziyyah (1291-1351), yang mengizinkan ‘azl pada tulisannya, Zad al-Ma’ad. Ibnu Qayyim menyatakan bahwa pendapat yang dikeluarkan oleh Ibnu Hazm memerlukan sumber waktu (tanggal dan tahun) bahwa saat Rasulullah mencabut hukum bolehnya melakukan ‘azl terjadi setelah adanya hadits yang memperbolehkan ‘azl, sedangkan untuk menemukan waktu tersebut sangatlah mustahil.
Ibnu Qayyim menambahkan bahwa pembunuhan terhadap bayi menurut hukum Islam adalah ketika saat janin telah terbentuk dan ketika saat bayi telah lahir, sehingga infanticide dilarang hukumnya, sedangkan ‘azl adalah hal yang berbeda. Beberapa sahabat pada masa Nabi Muhammad, seperti Ibnu Majah dan Ahmad, setuju bahwa ‘azl diperbolehkan oleh Rasulullah.
Secara singkat, tinjauan diatas menyatakan bahwa pengikut-pengikut Nabi Muhammad melakukan ‘azl dengan sepengetahuan Rasulullah dan Rasulullah sendiri tidak melarangnya.
Majallah Majma al-Fiqh al-Islaami
Pembahasan tentang keluarga berencana telah dibahas secara detail oleh Majma al-Fiqih al-Islami Mereka mempunyai 23 sarjana untuk membahas topik ini dan menyampaikan apa yang telah mereka teliti. Sarjana-sarjana tersebut berasal dari sekolah-sekolah yang berbeda, begitu pula cara berpikirnya. Diantara sarjana-sarjana tersebut adalah Muhammad Ali al-Baar, Ali al-Saaloos, Muhammad Saed Ramadhan al-Booti, Abdullah al-Basaam, Hasan Hathoot, dan Muhammad Sayid Tantaawi. Hasil diskusi dan karya tulis mereka dapat ditemukan di Majallah Majma al-Fiqh al-Islaami Bab satu Volume ke-5 (1988/1409 M) yang terdiri dari 748 halaman. Pembahasan yang akan dibahas berikut merupakan poin-poin penting yang berhubungan dengan keluarga berencana dalam Islam.
Makna pernikahan dan keinginan untuk mempunyai anak adalah suatu keinginan yang dimiliki oleh seluruh manusia yang diciptakan oleh Allah dan disampaikan oleh Rasulullah dan orang-orang yang diberi petunjuk oleh-Nya. Allah berfirman:
“Dan sungguh kami sudah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Tidak ada hak bagi seorang rasul mendatangkan sesuatu bukti (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Untuk setiap masa ada kitab (tertentu).” (Ar-Raad: 38)
Contoh yang terbaik yang dapat diikuti oleh orang-orang yang beriman adalah contoh yang telah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, yang menikah dan mempunyai anak. Allah berfirman:
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilan petunjuk mereka.” (Al-An’am: 90)
Islam telah melarang perjakaan dan cara hidup seperti biarawati karena beberapa hal. Rasulullah memperjelas hal ini ketika beliau bersabda kepada para pengikutnya: “Aku menunaikan shalat dan Aku tidur; Aku berpuasa dan Aku berbuka; dan Aku menikahi wanita. Siapapun yang mengikuti selain dari itu adalah bukan contoh hidupku.” Rasulullah SAW tidak hanya menganjurkan untuk menikah, tapi beliau juga menganjurkan untuk menikahi wanita yang subur. Dalam riwayat Beliau yang lain: “Nikahilah orang yang penyayang, wanita yang subur maka aku akan mempunyai umat yang banyak saat hari kiamat nanti.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban).
Dari sudut pandang Islam, anak adalah pemberian dan berkah dari Allah. Allah menyebutkan beberapa rahmat bahwa Dia telah menganugerahkan umat manusia dalam ayat berikut:
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik.” (An-Nahl: 72).
Allah juga berfirman:
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal-amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Al-Kahfi: 46).
Allah adalah satu-satunya Yang Maha Memberikan manusia segala hal. Jika umat muslim mengikuti apa yang telah diperintahkan oleh Allah, Allah akan menyediakan apapun untuknya. Allah telah memperingatkan manusia tentang pembunuhan anak yang dikarenakan masalah ekonomi. Allah berfirman:
“… dan janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka…” (Al-An’am: 151)
Allah juga berfirman di ayat-Nya yang lain:
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu merupakan suatu dosa yang besar.” (Al-Isra’: 31).
Oleh karena itu, umat Muslim tidak boleh menggugurkan atau membunuh anak-anaknya karena takut miskin, karena itu ialah pemberian dari Allah. Berdasarkan ayat Qur’an dan hadits di atas dan beberapa sumber lain, sarjana-sarjana yang berpartisipasi untuk meneliti pertanyaan-pertanyaan tentang keluarga berencana, telah membuat kesimpulan:
* Tidak diizinkan membuat undang-undang yang membatasi pasangan suami-istri untuk mempunyai keturunan.
* Telah dilarang untuk melakukan pengakhiran (dengan cara apapun yang disengaja) atas kemampuan suami atau istri untuk melakukan reproduksi, seperti melakukan histerektomi atau vasektomi, selama tidak diikuti oleh indikasi medis.
* Diperbolehkan untuk mengatur jarak kelahiran atau menunda kehamilan pada jarak waktu tertentu, jika terdapat syariat untuk melakukan hal tersebut, berdasarkan perundingan dan kesepakatan suami-istri tersebut. Bagaimanapun juga, hal ini dilakukan tanpa ada maksud di luar syariah.
Keluarga Berencana sebagai Perencanaan Keluarga
Ilmu kedokteran telah banyak menemukan cara tentang ‘azl sesuai dengan dispensasi dari Rasulullah, antara lain: kondom, IUD (Intra Uterine Device) atau lebih dikenal di Indonesia dengan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim), pil yang diminum wanita sebelum bersetubuh dan lain-lain, dan yang terakhir adalah pil anti hamil yang dapat membunuh, atau menghalangi terjadi pembuahan. Dosen ekonomi Islam Jamiah al Azhar (salah satu universitas di Mesir), Dr. Muhammad Syauqi Al Fanjari, berpendapat tentang keluarga berencana, yaitu :
Sesungguhnya inti dasar problematika yang terjadi bukanlah terletak pada kurang atau tambahnya pertimbangan penduduk, akan tetapi terletak pada ada dan tidaknya keselarasan antara kemungkinan ekonomi dengan jumlah penduduk. Prospek penduduk yang ada di masyarakat Mesir umpamanya, berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Oleh karena itu problem solving yang harus diterapkan pada masa yang akan datang adalah “pengaturan kelahiran” sebagaimana yang diterangkan Rasulullah SAW, yaitu ‘Aku berlindung kepada Allah dari juhdil bala’’. Ditanyakan: ‘Apakah juhdil bala’ itu wahai Rasulullah?’ Jawabnya: ‘Banyaknya keluarga dengan sedikitnya ekonomi.’”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa banyaknya anggota keluarga merupakan salah satu di antara dua kemudahan. Akan tetapi permasalahan yang terjadi di Mesir tidak sama dengan yang terjadi di negara lain, seperti Irak, Arab Saudi, Kuwait di mana jumlah penduduknya lebih sedikit dari GNP (Gross National Product) dan luas negaranya. Maka pemecahan masalah yang diterapkan adalah mendorong lajunya pertumbuhan penduduk.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Unit Keluarga Berencana Departemen Agama mempunyai pendapat tentang perencanaan keluarga dalam Islam. Pendapat tersebut akan dijelaskan dibawah ini:
1. Janganlah meninggalkan keturunan yang lemah
“Dan hendaknya takut pada Allah orang-orang yang seandainya, meninggalkan orang dibelakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisa’: 9)
Dalam hadits Nabi:
“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kecukupan dari pada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak.” (Muttafaqun alaihi)
Ditinjau dari sebab turunnya ayat tersebut ialah berkaitan dengan pembagian warisan, atau kedua ayat tersebut memberi keyakinan pada kita bahwa Allah memerintahkan kesejahteraan anak keturunan kita. Maka tidak dapat dibenarkan oleh Islam jika kita bersikap masa bodoh terhadap kesejahteraan dan masa depan anak cucu. Kita tidak ragu dengan Kemaha Murahan Allah, tapi tidak boleh berpangku tangan. Kalau kita mau makan tidak cukup hanya dengan berdoa saja tapi juga harus berusaha. Demikian juga jika kita ingin meninggalkan anak keturunan dalam kecukupan.
1. Penyediaan rezeki
Memang setiap makluk yang melata di bumi akan mendapat rezki dari Allah, tapi Ibu Bapak wajib berfikir seandainya aku mati sekarang apa yang akan dimakan anakku esok. Hadist diatas tegas mengingatkan bahwa kita jangan menggantungkan nasib anak keturunan kita pada orang lain.
2. Kewajiban mendidik
Sabda Nabi Muhammad SAW:
“Wahai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah mampu memikul beban keluarga hendaklah menikah, sebab dengan menikah itu akan lebih dapat menundukkan pandangan dan akan lebih dapat mampu menjaga kehormatan. Barang siapa benar-benar belum mampu hendaklah berpuasa, sesungguhnya berpuasa itu akan menjadi benteng yang menjaga (dari perbuatan buruk) “.
1. Bukan banyak anak yang lemah, tetapi keturunan kuat yang cerdas
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberi rezki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah” (An-Nahl:72)
“Menikahlah dan mempunyai anak cucu, maka sesungguhnya aku (Nabi) akan membanggakan kamu pada umat-umat lain pada hari kiamat nanti.” (Riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban)
Yang harus kita pertanyakan, apakah umat yang Beliau banggakan adalah umat yang jumlah manusianya banyak tetapi terdiri dari generasi yang berbadan lemah, tiada yang mempunyai kemampuan dan inisiatif? Atau umat yang menjadi kebanggaan Nabi itu bukanlah disangkutkan kepada jumlahnya yang banyak, melainkan kepada mutu dan kualitasnya yaitu umat yang kuat dan cerdas, yang kecakapan dan keahliannya, keimanan dan ibadahnya, kepada Allah jauh melebihi dari pada umat-umat yang mendahuluinya.
1. Mewariskan umat yang bermutu
“Kawinilah perempuan yang penyayang dan bakatnya beranak. Sesungguhnya di hari kiamat nanti aku (Nabi) akan merasa bangga dengan banyaknya umat pengikutku (yang bermutu).” (Riwayat Ahmad & Ibnu Hibban)
Hadist ini harus diartikan bahwa Nabi menghendaki agar pengikut Muhammad atau umat Islam yang banyak jumlahnya haruslah bermutu. Tidak ada gunanya seseorang banyak anak jika tidak mampu memberi bimbingan dan santunan supaya mereka menjadi pengikut Nabi Muhammad menjadi muslim yang baik. Maka dalam usaha agar setiap anak yang lahir dari orang muslim yang baik, orang tua perlu menjaga keseimbangan antara kemampuan dan beban mendidik serta memberi nafkah pada anak.
1. Tanzhimun Nasl, bukan Tahdidun Nasl.
Itulah sebabnya sebagian besar ulama besar Islam membenarkan dilakukannya tanzhimun nasl atau perencanaan keluarga, bukan tahdidun nasl atau pembatasan keturunan.
Perencanaan keluarga itu lebih diperlukan lagi dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya kelemahan kesehatan sang ibu, kerawanan pendidikan anak (artinya kekhawatiran tidak terselenggaranya pendidikan yang baik untuk masing-masing anak).
“Disanalah Zakaria berdoa pada Tuhannya: Ya Tuhanku berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesunggunya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali Imran: 38).
Perencanaan keluarga dianjurkan bukan untuk tidak punya anak, tetapi untuk mejadikan anak-anak yang ada menjadi anak yang shaleh, beriman, berilmu dan bertaqwa.(sumber:shvoog.com&Medicalzone.org)