Semoga menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Ungkapan ini sering terdengar seiring dengan musim orang menikah. Seakan sudah menjadi kalimat pakem yang harus diucapkan saat menghadiri kondangan dan menyalami sang mempelai. Lantas apa maksud dari ungkapan tersebut ?
Keluarga SaMaRa. Sebagai sebuah ibadah, tentu saja pernikahan memiliki sejumlah tujuan yang mulia. Memahami tujuan itu akan menghindarkan pernikahan hanya sekedar ajang pelampiasan nafsu seksual belaka. Tujuan-tujuan itu adalah pertama mewujudkan mawaddah dan rahmat, yakni terjalinnya cinta kasih dan tergapainya ketentraman hati (ar-Rum : 21). Kedua, sebagai upaya mengikuti sunnah Rasulullah. Ketiga, melanjutkan keturunan dan menghindari dosa. Keempat, untuk mempererat tali silaturahim. Kelima, pernikahan sebagai sarana dakwah. Keenam, dalam rangka menggapai mardhatillah.
Jika demikian tujuan pernikahan yang sebenarnya, maka dapat dipastikan bahwa suatu pernikahan yang tidak diarahkan untuk mewujudkan keluarga sakinah, berarti jauh dari apa yang diajarkan oleh Islam itu sendiri. Lalu, apa ukuran sebuah keluarga disebut keluarga sakinah?
Keluarga Sakinah: Keluarga dengan Enam Kebahagiaan
Keluarga sakinah adalah keluarga dengan enam kebahagiaan yang terlahir dari usaha keras pasangan suami istri dalam memenuhi semua kewajiban, baik kewajiban perorangan maupun kewajiban bersama. Teramat jelas bagaimana Allah dan Rasul-Nya menuntun kita untuk mencapai tiap kebahagiaan itu. Enam kebahagiaan yang dimaksud adalah:
Pertama, kebahagiaan finansial. Kepala keluarga wajib mencukupi kebutuhan nafkah istri dan anak-anaknya dengan berbagai usaha yang halal. Kebahagiaan finansial adalah ketika kebutuhan asasi seperti sandang, papan dan pangan, serta kebutuhan dharuri seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, terlebih bila kebutuhan kamali dapat dipenuhi. Sehingga keluarga itu dapat hidup normal, mandiri, bahkan bisa memberi.
Kedua, kebahagiaan seksual. Sudah menjadi fitrahnya, dalam kehidupan rumah tangga suami istri ingin meraih kepuasan seksual. Islam menuntunkan agar istri senantiasa bersiap memenuhi panggilan suami, tapi juga diajarkan agar suami selalu memperhatikan kebutuhan seksual istri. Ketika sepasang suami istri secara bersama dapat mencapai kepuasan seksual, maka mereka akan merasakan kebahagiaan seksual. Terlebih bila dari aktifitas seksual itu kemudian terlahir anak. Dengan pendidikan yang baik tumbuh menjadi anak yang shalih dan shalihah, kebahagiaan akan semakin memuncak.
Ketiga, kebahagiaan spiritual. Salah satu kewajiban bersama suami istri adalah melaksanakan ibadah-ibadah mahdah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya. Ketika sebuah keluarga terdiri dari pasangan suami istri yang rajin beribadah, dan dalam moment-moment tertentu memenuhi anjuran Allah dan Rasul-Nya untuk melaksanakannya secara bersama, seperti shalat berjamaah, membaca al-Qur’an, puasa sunnah dan sebagainya, maka kehidupan rumah tangga itu akan dihiasi oleh suasana religius dengan aura spiritual yang kental. Mereka merasakan secara bersama nikmatnya beribadah kepada Allah. Inilah yang disebut kebahagiaan spiritual.
Keempat, kebahagiaan moral. Suami wajib menggauli istri dengan ma’ruf. Istri juga wajib bersikap sopan dan patuh kepada suami. Suami istri bersikap sayang kepada anak-anak, sementara anak wajib bersikap hormat kepada kedua orang tuanya. Ketika pergaulan antar anggota keluarga, juga dengan karib kerabat dan tetangga, senantiasa dihiasi dengan akhlaq mulia, akan terciptalah kebahagiaan moral.
Masing-masing akan merasa nyaman dan tenteram tinggal di rumah itu. Rumah akan benar-benar dirasakan sebagai tempat yang memberikan ketenangan, bukan sebaliknya. Keresahan yang membuat para penghuninya tidak betah tinggal di sana.
Kelima, kebahagian intelektual. Untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya menurut tolok ukur Islam, juga untuk mampu mengatasi secara cepat dan tepat setiap problematika keluarga yang timbul, diperlukan pengetahuan akan ara’ (pendapat), afkar (pemikiran) dan ahkam (hukum-hukum) Islam pada pasangan suami istri. Maka menuntut ilmu (tsaqofah Islam) adalah wajib.
Ketika, sepasang suami istri memiliki pemahaman dan ilmu Islam yang cukup sedemikian kebutuhan untuk hidup secara Islami dan menjawab setiap masalah tercukupi, mereka akan merasakan suatu kebahagiaan karena hidup akan dirasakan terkendali, terang dan mantap. Pengetahuan memang akan mendatangkan kebahagiaan. Sebagaimana kebodohan mendatangkan kesedihan. Inilah yang disebut kebahagiaan intelektual.
Keenam, kebahagiaan ideologis. Keluarga dalam Islam bukan hanya dibentuk untuk memenuhi kebutuhan individu, tapi juga memuat misi keumatan. Yakni sebagai basis para pejuang Islam dalam usahanya menegakkan risalah Islam. Dengan misi itu, berarti masing-masing anggota keluarga diarahkan untuk memiliki peran yang nyata dalam dakwah. Termasuk anak-anak yang terlahir dididik untuk menjadi kader dakwah yang tangguh di masa mendatang.
Nah, keluarga yang mampu merealisasikan misi Islam yang amat mulia inilah keluarga muslim yang sebenarnya. Ketika suami istri merasa mampu mengayuh biduk rumah tangganya dalam kerangka misi tersebut, pasti mereka akan merasakan suatu kebahagiaan tersendiri. Kebahagiaan itu kita sebut kebahagiaan ideologis.
Manakah diantara keenam kebahagiaan itu yang utama? Tergantung pada persepsi atau pemahaman pasangan suami istri. Keluarga Rasulullah dibangun dengan meletakkannya pada kerangka perjuangan. Inilah keluarga teladan dengan kebahagiaan ideologis. Tapi berdasarkan riwayat-riwayat yang sangat jelas, Rasul juga mampu menciptakan kebahagiaan intelektual, kebahagiaan moral, spiritual, termasuk seksual bagi keluarganya.
Secara finansial, Rasul memang hidup dalam kesahajaan. Tapi siapa sangka mereka juga ternyata merasakan kebahagiaan finansial. Karena kebahagiaan yang terakhir ini tidak ditentukan oleh jumlah harta yang dimiliki, tapi oleh perasaan qanaah (cukup) atas rizki yang Allah karuniakan.
Kesiapan Mental Spiritual
Paling sedikit ada empat persiapan yang harus dilakukan untuk membentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Yakni persiapan ilmu menyangkut tentang bagaimana hidup sebagai istri/ibu atau sebagai suami/bapak dan bagaimana menjalani hidup bersama dalam sebuah keluarga dengan segala hak dan kewajibannya. Berikutnya adalah persiapan mental, finansial dan fisikal (kesehatan).
Empat persiapan itu perlu dilakukan oleh calon pengantin, mengingat bahwa pernikahan berarti mempertautkan dua pribadi dari dua keluarga yang sama sekali berbeda. Hidup dalam satu atap dengan pasangan barunya jelas akan membawa perubahan-perubahan yang drastis. Yang semula sendiri, kini berdua. Yang semula bebas kini terikat dengan hak dan tanggungjawab dan sebagainya.
Untuk menghadapi semua itu, diperlukan kesiapan mental. Yakni bagaimana menghadapi tekanan hidup dengan berbagai macam problematika kehidupan, kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan pasangan dan sebagainya. Pasangan yang memiliki kesiapan mental akan dapat menjalani semua tekanan itu dengan jiwa yang tegar, sabar dan optimis.
Sebaliknya yang tidak memiliki kesiapan mental akan banyak sekali menghadapi tekanan mental. Mungkin persoalan yang dihadapi sebenarnnya biasa-biasa saja, tapi karena memang dasarnya miskin ketahanan mental, akibatnya menjadi sangat serius.
Keluarga yang normal dalam ukuran Islam adalah keluarga yang mampu mewujudkan sejumlah fungsi pokoknya, yaknsi fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi edukatif, fungsi protektif, fungsi religius, fungsi rekreatif, fungsi dakwah dan fungsi afektif. Terpenuhinya seluruh hak dan kewajiban anggota keluarga (suami, istri dan anak-anak) akan membuat semua fungsi tersebut berjalan.
Sehingga peluang tercapainya enam kebahagiaan dalam keluarga sakinah terbuka lebar. Sebaliknya, pengabaian sebagian apalagi seluruh hak dan kewajiban anggota keluarga jelas akan menimbulkan disfungsi keluarga. Ujungnya, tak satu pun kebahagiaan bisa diraih.
Buruknya relasi suami istri acap dipicu tidak didapatkannya salah satu atau lebih dari enam kebahagiaan tersebut di atas. Seorang suami yang mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan finansial keluarga akan memancing reaksi negatif dari sang istri. Terlebih bila tolok ukur kebahagiaan istri pada tercapainya perolehan materi.
Begitu juga pasangan suami istri yang gagal mencapai kepuasan seksual, bergaul secara kasar, miskin pemahaman Islam, kering nuansa ibadah dan tak secuilpun terpikir perjuangan Islam, jelas akan memurukkan keluarga itu ke jurang disfungsi yang teramat fatal. Bila tidak segera teratasi, keutuhan keluarga itu akan terancam. Paling tidak kehidupan keluarga itu tidak harmonis, kering dan menggelisahkan.
(Sumber : www. Keluarga-samara.com dan Majalah Female Readers)